 
                    
                    
.jpeg)
Indonesia merupakan salah satu negara dengan tiga masalah gizi di semua kelompok umur, termasuk anak usia sekolah dasar. Data riset jesehatan dasar tahun 2018 menunjukan 1 diantara 4 anak mengalami stunting, 1 dari 10 anak memiliki badan yang kurus, 1 dari 5 anak tergolong gemuk atau obesitas, dan 1 dari 4 anak usia sekolah dasar di Indonesia juga menderita anemia.
Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Jenderal PAUD, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah, Kemendikbudristek, Jumeri, S.TP. M.Si., saat memberikan sambutan dalam webinar bertajuk Gizi Tercukupi, Aku Berprestasi, Selasa, 25 Januari 2022. Webinar yang diselenggarakan oleh Direktorat Sekolah Dasar ini dalam rangka memperingati hari gizi nasional.
“Stunting dan anemia pada anak dapat menurunkan prestasi belajar anak di sekolah dan menurunkan produktivitasnya kelak ketika sudah dewasa. Sementara itu anak-anak yang obesitas lebih berisiko mengalami penyakit tidak menular saat dewasa,” kata Jumeri.
Dirjen PAUD Dikdasmen melanjutkan, pandemi Covid-19 kemungkinan besar telah memperburuk situasi, menempatkan anak-anak usia sekolah pada resiko yang lebih besar untuk impilaksi kesehatan dan gizi jangka panjang.
Oleh karena itu, tercukupinya asupan gizi anak usia sekolah sangatlah penting untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak yang optimal. Studi menunjukan bahwa asupan makanan yang kurang sehat dan kurang aktivitas fisik akan menjadi salah satu pemicu gizi yang buruk di kalangan anak usia sekolah dasar.
“Rendahnya pengetahuan mengenai gizi baik pada anak, orang tua maupun guru turut berkontribusi terhadap perilaku makan dan aktivitas fisik yang kurang sehat. Beberapa penelitian menunjukan bahwa pendidikan gizi di sekolah yang disertai dengan intervensi komunikasi untuk perubahan perilaku, terbukti efektif mendukung perubahan perilaku siswa,” ungkap Jumeri.
Angka partisipasi sekolah yang cukup tinggi di Indonesia dapat menjadikan sekolah sebagai platform utama program gizi, termasuk pendidikan gizi dan mempengaruhi status gizi anak-anak dan remaja.
Selain itu pemanfaatan sumber daya pangan lokal dan olah pangan yang menarik juga dapat menunjang pemenuhan gizi yang seimbang dan perilaku makan yang baik. Dimana semua itu dapat terbentuk melalui pendidikan di dalam rumah tangga atau keluarga di lingkungan sekolah.
“Gizi dan kesehatan anak sekolah dasar sangat penting diperhatikan karena anak-anak yang sehat dan baik gizinya dapat belajar dengan lebih optimal. Kelak mereka akan bertumbuh menjadi remaja yang lebih sehat dan mempunyai kehidupan yang lebih produktif. Oleh sebab itu investasi dalam bidang kesehatan dan gizi anak sekolah dasar sama pentingnya dengan investasi di bidang pendidikan untuk mencapai kualitas pendidikan yang diharapkan,” tutupnya.
.jpeg)
Dalam kesempatan tersebut, Direktur Sekolah Dasar, Dra. Sri Wahyuningsih, M.Pd., mengatakan dalam menjaga kesehatan harus disiapkan baik dari dalam maupun dari luar. Menjaga kesehatan dari luar tentunya melalui penerapan protokol kesehatan dan perilaku hidup bersih dan sehat, apalagi di tengah pandemi Covid-19 yang masih berlangsung.
Sementara kekuatan dari dalam selain dengan vaksinasi yang diberikan kepada putra-putri usia 6 sampai 11 tahun untuk meningkatkan imun dan kekebalan tubuh, juga harus tercukupi terhadap asupan makanan dan minuman yang bergizi.
“Gizi tercukupi akan menjadikan anak berprestasi. Karena ketika gizi yang dikonsumsi oleh anak seimbang maka akan mempengaruhi kesehatan anak-anak. Kesehatan anak-anak kita tentunya menjadi modal mereka agar bisa fokus dalam belajar. Ketika anak-anak fokus belajar tentunya mereka akan merasa bahagia ketika mendapat penugasan-penugasan dari bapak ibu guru,” tuturnya.
Sri Wahyuningsih juga menegaskan orangtua dan guru di sekolah memiliki peran besar untuk mengawasi jenis-jenis makanan bagi anak-anak. Baik makanan yang tersaji di rumah maupun di kantin sekolah. Karena melalui asupan gizi yang baik maka anak-anak akan sehat, produktif.
“Di sekolah maupun di rumah orangtua dan guru memiliki peran penting dalam mengedukasi terhadap asupan makanan yang mengandung gizi bagi anak-anak. Mari kita kawal bersama-sama bapak dan ibu guru, para bunda di mana pun berada, perlu juga dukungan dari sahabat-sahabat media agar anak-anak kita betul-betul terliterasi terhadap asupan makanan yang bergizi,” ujarnya.
Dr. dr. Tan Shot Yen, M. Hum., Dokter dan Ahli Gizi Masyarakat sekaligus influencer kesehatan menjelaskan, ada cara dalam mendidik agar anak menyukai makanan dan memilih makanan yang diperlukan. Dan yang terpenting, orangtua perlu mengkomunikasikan makanan kepada anak.
Tapi tentunya orang tua harus paham dulu tentang makanan yang baik dan bergizi. Jangan sampai menganggap suatu makanan itu baik hanya karena terpengaruh iklan. “Berapa banyak orangtua dan guru dalam memahami suatu makanan itu, hanya berdasarkan iklan di media sosial atau televisi,” tutur Tan.
Di Yogyakarta ada orang yang betul-betul melakukan survey advertensi iklan makanan di televisi. Hasilnya menyimpulkan, iklan makanan masuk pada acara anak-anak bisa mencapai 20 iklan per jam. Sementara di Korea Selatan iklan makanan pada tayangan anak-anak hanya 5 iklan, di China antara 7 sampai 8 iklan.
Di sisi lain masyarakat juga masih banyak yang belum memahami kadar takaran gula. Terkait pemahaman ini, para ahli kesehatan sudah mempunyai takaran yaitu 4 sendok makan per hari. Artinya gula tidak boleh lebih dari 4 sendok makan.
“Bayangkan kalau dewasa saja tidak boleh mengkonsumsi gula lebih dari 4 sendok makan, garam tidak boleh lebih dari 1 sendok teh, lemak tidak boleh lebih dari 4 sendok makan, lalu bagaimana dengan anak-anak,” kata Tan.
Sayangnya masyarakat Indonesia memiliki budaya makan dengan gula 4 sendok makan, lalu makanannya masih ditambahkan kecap. Maka jika dijumlahkan semua dari makan pagi sampai makan malam cukup mengerikan.
Sekarang ini kasus obesitas pada anak berusaha dihindari karena memiliki potensi bahaya jangka panjang. Di Indonesia semakin tahun angka kasus obesitas semakin naik. Tapi disisi lain juga budaya makanan Indonesia kerap banyak menggunakan gula.
“Mengkonsumsi banyak gula itu sangat bahaya. Pertama gula itu dapat membuat orang kecanduan. Kalau yang tadinya cumin pakai 1 sendok teh, lama-lama bisa jadi 2 sendok teh atau 1 sendok makan. Baik pada minuman maupun makanan. Kelebihan gula darah mengakibatkan beberapa penyakit kronis seperti risiko diabetes dan kolesterol jahat,” paparnya.
Sementara itu Dr. Sandra Olivia Frans, MPH., Peneliti Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FKKMK UGM mengungkapkan, mengkonsumsi makanan manis masih menjadi salah satu budaya masyarakat Indonesia. Rata-rata konsumsi minuman menurut kelompok umur, ada sebanyak 50% anak sekolah dasar mengkonsumsi minuman kemasan.
“Ini berarti PR bagi kita semua untuk bisa menanggulangi angka tersebut. Apalagi kasus obesitas ini jadi suatu masalah yang harus menjadi fokus kita bersama,” ujar Sandra Olivia.
Berdasarkan riset kesehatan dasar dari tahun 2017 hingga 2018 trendnya selalu meningkat. Bahkan di tahun 2018 didapatkan 1 diantara 3 orang dewasa Indonesia mengalami obesitas sentra. 1 diantara orang dewasa kemungkinan mengalami obesitas dan itu tidak hanya terjadi pada orang dewasa namun juga pada anak-anak.
“Bahkan obesitas pada usia anak-anak menjadi kasus yang paling tinggi. Nah ini artinya bahwa minuman berpemanis akan menimbulkan penyakit tidak menular. Di Indonesia sendiri itu bahkan 8 dari 10 penyebab kematian tertinggi didominasi oleh penyakit tidak menular,” katanya.
Tri Muhartini, Peneliti Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FKKMK UGM menyampaikan ada beberapa opsi untuk menjadi pertimbangan dalam mengelola asupan makanan dan minuman pada anak-anak.
.jpeg)
Yang pertama bisa dilakukan oleh pengambil keputusan adalah dengan mengatasi permasalahan dari ketersediaan akses fasilitas dan pemasarannya.
“Dari opsi ini ada beberapa bentuk. Pertama kita bisa dengan membatasi ketersediaan dari SSD atau minuman dalam kemasan tersebut. Kemudian membatasi sekolah untuk penjualan minuman dalam kemasan,” kata Tri Muhartini.
Opsi lainnya bisa juga jumlah minuman SSD dikurangi atau penyimpanannya diletakan paling dalam sehingga sulit untuk dijangkau oleh anak-anak. Maka anak-anak pun akan lebih memilih minuman lainnya yang mudah dijangkau yang rendah gula atau yang bisa dikontrol saat dikonsumsi.
“Nah itu adalah cara untuk membatasi ketersediaan SSD dengan jumlahnya yang dibatasi atau penempatan minumannya yang disimpan di tempat yang sulit untuk dijangkau oleh anak-anak,” ujarnya.
Selain itu, lanjutnya, orang tua atau pihak sekolah harus lebih banyak menyediakan minuman yang lebih sehat seperti air putih. Air putih bisa disediakan secara gratis seperti meletakan galon-galon air mineral disetiap sudut sekolah dan itu mudah diakses.
“Nah dari kedua opsi ini sebenarnya sahabat-sahabat sudah bisa melihat bahwa ada dampak yang terjadi pada berat badan serta kesehatan anak ketika opsi ini diimplementasikan,” tutupnya. (Hendriyanto)
Penulis: Hendriyanto
Editor: Lailatul Machfudhotin
 
 
 
